0

My Fitness Journey - Part 1

Fitness November 14 2021

"Dari anak kosan yang hanya mengenal mie instan dan nasi goreng, kemudian dipaksa untuk mengubah pola hidup dikarenakan penyakit saluran pencernaan akut. Dari pengalaman itu, aku mulai mengenal mindful eating, jatuh cinta pada fitness, hingga keinginan untuk berbagi ilmu dan menolong teman-teman yang ingin hidup sehat juga. Menjadi coach di salah satu crossfit box di Jakarta, dan sekarang seorang ibu anak satu, online trainer dan konten kreator. Blog ini adalah jurnal perjalanan aku, yang berisi tentang fitness, resep makanan, tips hidup sehat, workout, motherhood and everything in between."

 Hi everyone, WELCOME TO MY BLOG. Seneng sekali akhirnya aku bisa mewujudkan salah satu mimpiku, yaitu mempunyai blog sendiri. Aku sadar kalo aku suka sulit berbicara dengan lancar di depan kamera. Jadi dengan menulis, aku dapat lebih lancar mengungkapkan perasaan dan pesan yang ingin aku bagi atau sampaikan.. Oh ya, nama aku Diva dan aku mau banget sharing tentang my fitness journey dan juga cerita kesembuhanku dari penyakit saluran pencernaan yang sempat membuat kesehatan mental aku down in my early 20s.


Berbeda dengan kebanyakan orang, yang memulai
fitness journey nya karena ada ketidaknyamanan dengan berat badan, keinginan merubah bentuk tubuh, menjadi langsing, atau keinginan agar bisa pake baju kebaya kelulusan. Tapi tidak dengan aku. Dari aku lulus SMP, berat badanku tetap di angka 45 kg, begitu juga tinggi badanku yang hanya 150cm. Kadang kalo main di Dufan, suka takut tidak dibolehin naik wahana karena terlalu kecil. Dengan tinggi dan berat badanku tersebut, bisa dibilang tubuhku tidak terlalu kurus dan tidak berisi banget juga. Malah lebih ke ‘skinny fat’, bagian perut, paha dan betis ku yang paling banyak menyimpan lemak. Namun, dari dulu aku memang anak yang cuek, aku tidak pernah mempermasalahkan bentuk tubuhku. Asalkan perut kenyang dan tubuh bisa beraktifitas sehari-hari dengan baik, how I look is not important.


Semua mulai berubah pada saat aku masuk universitas. Aku tidak tinggal dengan orang tuaku lagi dan memutuskan untuk ngekos dekat kampus.
Well it was awesome at first, lama-lama sedih juga karena tidak ada yang masakin, tidak ada yang mengingatkan untuk makan, selalu jajan diluar yang membuat cepat bokek. Aku tidak tahu makanan bernutrisi itu seperti apa. Menurut aku, sarapan mie instan dan nasi di pagi hari itu sudah whole foods; kalau bikin kenyang, artinya sudah makan. Aku juga buta dengan makro atau mikronutrien dan menurut aku jajan cireng untuk ngemil di kelas itu adalah cemilan wajib. Sering juga kalau lagi sibuk banget karena tugas, aku suka tidak makan, dan makan malamnya di dobel pakai Jumbo Biru (anak kosan tau lah ya ini apa).

 

image diva-1

Gambar 1: Menikmati makan siang di warteg dekat kampus. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan makan di warteg, namun menu apa yang dipilih itu lah yang menjadi masalah.

  

Pada kuliah semester 5, aku memutuskan untuk masuk ke tim futsal Universitas and I was good at it. Aku merasa lebih fit walaupun makanku masih asal-asalan. Sampai akhirnya, waktu skripsi berakhir, aku jatuh sakit. Tubuh aku tidak bisa lagi men-support aku lagi. Perutku sering sekali nyeri dan hampir semua jenis trigger food seperti kacang, susu, roti, dan gandum membuat perutku sakit, bloated hingga diare setiap minggunya. Aku bisa dua kali dapat tipes di tahun terakhir kuliahku, dan sering sekali masuk angin sampai mual-mual. Fun fact about me, aku phobia dengan muntah. Sehingga, penyakit pencernaan yang sering berujung dengan rasa mual dan ingin muntah membuat mentalku jatuh dan tubuhku under stress. Hal ini membuat pencernaan aku semakin bermasalah, hingga akhirnya aku memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter internis.

Aku ingat sekali, saat mendatangi RS MMC di Kuningan dimana mereka mempunyai Digestive Center. Selama aku bolak-balik kerumah sakit, aku takut bilang ke orang tuaku karena takut membuat khawatir karena tubuhku yang semakin kurus dan lemas. Aku bahkan tidak balik ke rumah sampai berbulan-bulan. Ini sulit sekali karena aku pun tidak dapat dukungan yang dibutuhkan, baik itu mental maupun materi. Dalam 2 minggu, berat badanku bisa turun 6 kg karena diare berkepanjangan. Dokter pun bilang, ususku tidak menghasilkan enzim yang cukup untuk mengolah makanan yang dikonsumsi sehingga setiap setelah makan, aku harus mengonsumsi obat enzim, kalau tidak ususku akan bekerja terlalu berat (untuk mencerna makanan).


Setelah dua bulan tidak ada hasil yang signifikan, mental ku semakin rapuh, dokter yang menanganiku memutuskan untuk melakukan endoskopi karena melihat adanya pendarahan internal dari feses ku (maaf ya terlalu kalau terlalu detail). Aku tolak mentah-mentah. Selain biaya, aku tidak bisa melakukan endoskopi apabila ada kemungkinan muntah setelahnya. Ingat, aku punya phobia muntah. Dokter spesialis internis memutuskan untuk mencari jalan lain yaitu merekomendasikan ku dengan dokter gizi, karena menurut dokter spesialis internis, sebaik-baiknya obat, tidak akan bisa 100% menyembuhkan apabila aku tidak bisa mengubah lifestyle ku selama ini.


Dari dokter gizi ini lah aku mengerti apa itu gizi seimbang, makro dan mikronutrien, dan bagaimana pentingnya berolahraga rutin. Mataku mulai terbuka, seketika aku melihat secercah harapan. Aku sudah letih sakit-sakitan, aku 
sudah capek keluar uang untuk berobat. Akupun bertekad untuk sembuh. Hal pertama yang aku lakukan adalah menghubungi adikku yang saat itu sudah terjun ke dunia fitness and healthy lifestyle duluan. Adikku menyanggupi untuk menolongku dari blackhole dan slowly start changing my habit and lifestyle. Jujur, pendekatan yang aku suka dari adikku adalah: just start slowly, tapi disiplin dan stick to it sampai 4 bulan, because that's when you’ll see the progress.

image diva-2

Gambar 2: Bulan ketiga mulai lifting weight, masih pakai sarung tangan. Aku adalah wanita satu-satunya dikala itu yang ada di free weight section di tempat gym.

 

Aku bersyukur sekali, adikku tidak pernah mengajariku tentang strict dieting, calorie counting, atau mengutamakan suplemen-suplemen, karena dia tahu pasti aku udah kabur duluan kalau seribet itu. And the goal is just to be healthier and stronger anyway, not aiming to be a bikini model. Apalagi dalam kasus aku, cukup agar penyakitku tidak kambuh lagi saja aku sudah senang sekali. Akhirnya, selama 4 bulan aku berdedikasi, bukan penyakitku saja yang jarang kambuh tapi aku mulai melihat garis-garis otot mulai bermunculan. Sempat tidak percaya karena pikiranku dulu, wanita tidak akan bisa punya six pack. Bahkan tak sedikit yang menakut-nakuti kalau lifting weight can make you look like a man. Nyatanya? Silahkan nilai sendiri….

 

image diva-3a

image diva-3b

image diva-3c

Gambar 3-5: Transformasi pola hidup sehat yang kudapatkan sekitar 2 tahun dari merubah gaya hidup ke yang lebih sehat dilihat dari sisi fisik.

 

Dari situlah aku memutuskan bahwa working out adalah bagian dari lifestyle ku. Seperti mandi, sikat gigi, tidur, training adalah sesuatu yang apabila tidak dilakukan, malah membuatku merasa ada yang kurang. Fitness has changed me, not only physically but also mentally. Segini dulu ya cerita pengalaman aku. Sampai jumpa di bagian kedua dari blog ini. Aku memulai pola hidup sehat dengan menggunakan habit-based approach sampai akhirnya aku bisa sembuh dari gangguan saluran pencernaan. Thanks for reading!

© 2021 Petite Diva Fitness. All Right Reserved